SibaragasNews.Id| Rumput menjadi barang mewah yang langka di Ibukota Chile, Santiago.
Santiago mengalami kekeringan selama satu dekade.
Baca Juga:
Indonesia-Chile Sepakat Memulai Negosiasi Sejumlah Bidang Baru
Otoritas lokal dan penata taman pun terpaksa harus mengganti tanaman hijau subur dengan flora gurun.
"Kekeringan melanda kita semua," kata wakil direktur taman, Eduardo Villalobos.
Villalobos mengatakan bahwa orang membutuhkan perubahan paradigma dalam kebiasaan sehari-hari untuk membantu menghemat air.
Baca Juga:
Optimalkan Perjanjian Dagang IC-CEPA, Dirjen PEN Pimpin Misi Dagang ke Cile
Perubahan wajah kota berpenduduk sekitar enam juta orang ini menggarisbawahi negara produsen tembaga ini harus beradaptasi dengan iklim yang berubah dan lebih kering.
Villalobos menyatakan lima hektare area rumput telah diganti yang menghemat 300.000 liter air dalam setiap siklus penyiraman.
Chile mengumumkan pada awal bulan tentang rencana untuk menjatah air di ibu kota.
Keputusan tersebut belum pernah terjadi sebelumnya dalam hampir 500 tahun sejarah kota itu, dengan sistem peringatan empat tingkat termasuk pembatasan tekanan air hingga penjatahan air bergilir.
"Lanskap Santiago dari tahun lalu, dirancang untuk iklim Mediterania. Sekarang kita berada di iklim semi-gurun," ujar kepala area hijau di distrik pasar atas kota Providencia, Valentina Vega.
"Kami tidak bisa membuang semua air itu lagi," ujarnya.
Sedangkan di Providencia, pemerintah daerah berencana untuk mengubah wilayah hijau di sepanjang jalan dan jalan raya.
Mereka akan mengganti dengan tanaman yang mengkonsumsi sedikit air dan menggunakan irigasi tetes.
"Ini menghemat hampir 90 persen air dibandingkan dengan lansekap tradisional," kata Vega.
Providencia ini juga terbagi. Daerah kaya memiliki lebih banyak padang rumput hijau dan jalan berpohon rindang, yang jarang terlihat di wilayah yang kurang makmur.
Namun semua orang membuat perubahan, menggabungkan vegetasi asli dan irigasi modern untuk menghindari pemborosan air.
Mahasiswa ekonomi Aracely Rodriguez yang tinggal di Pudahuel, daerah kelas menengah ke bawah di barat laut Santiago melihat sekitarnya tidak ada tanaman hijau.
"Di mana saya tinggal tidak ada taman atau area hijau di dekatnya, tidak banyak air. Kami mencoba menjaga air. Kami memiliki hati nurani," katanya.
Pakar pengelolaan air dari University of Chile, Rodrigo Fuster, mengatakan, orang perlu menyesuaikan penggunaan air mengingat iklim yang lebih kering dengan sedikit curah hujan dan salju di Andes.
Kondisi ini telah mengurangi aliran sungai ke kota.
"Ada banyak ruang untuk mengurangi konsumsi air. Di kota seperti Santiago, dengan iklim semi-kering yang semakin parah, tidak dapat diterima bahwa kami memiliki rumput dan menggunakan air seolah-olah kami berada di London," ujar Fuster.
Warga terbelah tentang perubahan tersebut.
Ada yang mengatakan lanskap baru di beberapa tempat tampak seperti tumpukan batu.
Namun warga lain ada juga yang mengatakan butuh waktu dan bisa menjadi indah.
Dina Robles menunjuk ke taman di depan rumahnya yang penuh dengan semak-semak, bunga berwarna-warni, dan little foxtail yang bergoyang ditiup angin sore dengan aroma mint dan rosemary dari tanaman di dekatnya.
"Seorang tetangga mengatakan kepada saya bahwa dia menyesali perubahan itu, bahwa mereka telah dijanjikan bunga dan hanya ada batu," kata Robles, sambil tertawa, menekankan butuh tiga bulan untuk tanaman di dekat rumah untuk mekar.
"Lalu semuanya meledak dalam nuansa ungu dan biru. Sangat indah," katanya. [As]