SibaragasNews.Id | Dalam memberikan hukuman terhadap para tersangka kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO), Kejaksaan Agung (Kejagung) menerapkan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur ancaman pidana penjara seumur hidup dan hukuman mati.
Empat tersangka yang telah ditetapkan Kejaksaan Agung antara lain Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor.
Baca Juga:
Tepis Isu Jam Tangan Miliaran, Pejabat Kejagung Klaim Hanya Rp 4 Juta
Kemudian Senior Manager Corporate Affairs PT Pelita Agung Agrindustri/Permata Hijau Group, Stanley MA; dan General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas, Picare Tagore Sitanggang.
Pakar hukum pidana memandang langkah Kejaksaan yang menerapkan Pasal kerugian negara dalam kasus ini sudah tepat.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, menilai akan lebih tepat jika Kejaksaan menerapkan Pasal 3 UU Tipikor. Sebab, menurut dia, unsur-unsur yang termuat dalam Pasal tersebut telah terpenuhi dalam diri tersangka.
Baca Juga:
Kepercayaan Publik terhadap Kejagung Melonjak, Ungguli Lembaga Penegak Hukum Lain
Pasal 3 UU Tipikor berbunyi: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
"Menurut saya lebih tepat kalau ini dikenakan Pasal 3 karena dia dengan kedudukannya membuat kebijakan yang bertentangan dengan UU (penyalahgunaan wewenang)," ujar Chudry melalui sambungan telepon, Kamis (21/4).
Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpendapat para tersangka lebih tepat dikenakan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor.
Pasal itu berbunyi: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar rupiah.
"Menurut saya, pasnya itu dia bisa dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor. Kalau Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan jelas menyalahgunakan kewenangan jabatan. Maksimal pidana seumur hidup," ungkap Fickar.
Senada dengan Chudry, Fickar beralasan para tersangka pantas diganjar hukuman pidana penjara seumur hidup dikarenakan perbuatannya telah membuat susah masyarakat memperoleh kebutuhan pokok minyak goreng.
"Karena [minyak goreng] itu merupakan bagian dari kebutuhan lima pokok yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Nah, karena itu pilihan Pasalnya bisa jadi itu [Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor]," imbuhnya.
Tak Setuju Hukuman Mati
Baik Chudry maupun Fickar tidak menyetujui penerapan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor yang mengatur ancaman pidana mati. Menurut Chudry, keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal tersebut tidak terpenuhi di kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit ini.
Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
"Kalau misalnya mau dituntut hukuman mati, [korupsi] itu dilakukan dalam keadaan bencana. Ini kan bukan dalam keadaan bencana. Tindakan itu menyebabkan kelangkaan minyak di pasar, itu kan bukan bencana," ucap Chudry.
Dalam UU Tipikor disebutkan, hukuman mati bisa dijatuhkan jika korupsi dilakukan saat terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. [As]