Pasal itu berbunyi: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar rupiah.
"Menurut saya, pasnya itu dia bisa dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor. Kalau Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan jelas menyalahgunakan kewenangan jabatan. Maksimal pidana seumur hidup," ungkap Fickar.
Baca Juga:
Tepis Isu Jam Tangan Miliaran, Pejabat Kejagung Klaim Hanya Rp 4 Juta
Senada dengan Chudry, Fickar beralasan para tersangka pantas diganjar hukuman pidana penjara seumur hidup dikarenakan perbuatannya telah membuat susah masyarakat memperoleh kebutuhan pokok minyak goreng.
"Karena [minyak goreng] itu merupakan bagian dari kebutuhan lima pokok yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Nah, karena itu pilihan Pasalnya bisa jadi itu [Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor]," imbuhnya.
Tak Setuju Hukuman Mati
Baca Juga:
Kepercayaan Publik terhadap Kejagung Melonjak, Ungguli Lembaga Penegak Hukum Lain
Baik Chudry maupun Fickar tidak menyetujui penerapan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor yang mengatur ancaman pidana mati. Menurut Chudry, keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal tersebut tidak terpenuhi di kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit ini.
Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
"Kalau misalnya mau dituntut hukuman mati, [korupsi] itu dilakukan dalam keadaan bencana. Ini kan bukan dalam keadaan bencana. Tindakan itu menyebabkan kelangkaan minyak di pasar, itu kan bukan bencana," ucap Chudry.